Satuan Karya Pramuka (Saka) adalah wadah pendidikan guna
menyalurkan minat, mengembangkan bakat dan pengalaman para Pramuka dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi Tujuan
pembentukan Saka adalah untuk memberi wadah pendidikan bagi para Pramuka
Penegak dan Pramuka Pandega serta pemuda Indonesia untuk :
1.mengembangkan bakat, minat,
pengetahuan, kemampuan, keterampilan dan pengalaman dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi.
2.meningkatkan motivasi melaksanakan
kegiatan nyata dan produktif
3.memberi bekal bagi kehidupan dan
penghidupannya
4.memberi bekal bagi pengabdiannya pada
masyarakat, bangsa dan negara guna menunjang pembangunan nasional sehingga
dapat meningkatkan mutu dan taraf kehidupan serta dinamika Gerakan Pramuka,
serta peranannya dalam pembangunan nasional.
Kegiatan kesakaan dilaksanakan di gugusdepan
dan satuan karya Pramuka disesuaikan dengan usia dan kemampuan jasmani dan
rohani peserta didik. Kegiatan pendidikan tersebut dilaksanakan
sedapat-dapatnya dengan praktek berupa kegiatan nyata yang memberi kesempatan
peserta didik untuk menerapkan sendiri pengetahuan dan kecakapannya dengan menggunakan
perlengkapan yang sesuai dengan keperluannya.
Anggota Saka adalah :
1. Pramuka Penegak dan Pramuka Pandega dari Gugusdepan
2. Pramuka Penggalang Terap.
3. Pemuda berusia 14-25 tahun, dengan syarat khusus
Syarat menjadi Anggota Saka :
1.Mendapat izin dari orang tua/wali,
Kepala Sekolah dan Pembina Gugusdepan
2.Berusia antara 14-25 tahun
3.Memenuhi syarat-syarat khusus yang
ditentukan oleh masing-masing Saka (misalnya persyaratan mengenai kesehatan jasmani dan
rohani, kemampuan dan kepantasan dsb).
4.Bersedia untuk berperan aktif dalam
segala kegiatan Saka
5.Bersedia dengan sukarela
mendarmabaktikan dirinya kepada masyarakat, dimanapun, serta setiap saat bila
diperlukan.
6.Seorang Pramuka dapat pindah dari satu
bidang ke Saka lainnya bila telah mendapatkan sedikitnya 3 (tiga) buah TKK dan
sedikitnya telah berlatih selama 6 (enam) bulan pada Saka tersebut.
Bidang-bidang Satuan Karya Pramuka,
terdiri atas 7 (tujuh) Saka lama dan 2 (dua) Saka baru, yaitu :
1.Saka Taruna Bumi
2.Saka Bhayangkara
3.Saka Wana Bhakti
4.Saka Bhakti Husada
5.Saka Dirgantara
6.Saka Bahari
7.Saka Kencana
8.Saka Wira Kartika
9.Saka Pandu Wisata
Sasaran pembentukan Saka bagi Pramuka
adalah agar selama dan setelah mengalami pendidikan dalam Saka, mereka : memiliki tambahan
pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan kecakapan yang dapat mendukung
kehidupan dan penghidupannya atau pengabdiannya kepada masyarakat, bangsa dan
negara.
1.meningkatkan kemantapan mental dan
fisiknya
2.memiliki rasa tanggungjawab atas
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara serta tanggungjawab kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
3.memiliki sikap dan cara berfikir yang
lebih matang dalam menghadapi segala tantangan dalam hidupnya.
4.dapat melaksanakan kepemimpinan yang
bertanggungjawab, berdaya guna dan tepat guna.
5.dapat menyelenggarakan berbagai kegiatan
yang positif, berdaya guna dan tepat guna sesuai dengan minat dan bakatnya.
6.menjalankan
secara nyata Tri Satya dan Dasa Darma.
Kedudukan, tugas, fungsi, organisasi, hubungan dan tata
cara kerja kepolisian pada zaman Hindia Belanda tentu diabdikan untuk
kepentingan pemerintah kolonial. Sampai jatuhnya Hindia Belanda, kepolisian
tidak pernah sepenuhnya di bawah Departemen Dalam Negeri. Di Departemen Dalam
Negeri memang berkantor "Hoofd van de
Dienst der Algemene Politie" yang hanya bertugas di
bidang administrasi/pembinaan, seperti kepegawaian, pendidikan SPN (Sekolah
Polisi Negeri di Sukabumi), dan perlengkapan kepolisian.
Wewenang operasional kepolisian ada pada residen yang dibantu asisten residen. Rechts politie dipertanggungjawabkan
pada procureur generaal
(jaksa agung). Pada masa Hindia Belanda terdapat bermacam-macam bentuk
kepolisian, seperti veld politie
(polisi lapangan) , stands politie
(polisi kota), cultur politie (polisi pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja),
dan lain-lain.
Sejalan dengan administrasi negara waktu itu, pada kepolisian juga diterapkan
pembedaan jabatan bagi bangsa Belanda dan pribumi. Pada dasarnya pribumi tidak
diperkenankan menjabat hood agent
(bintara), inspekteur van politie, dan commisaris van politie. Untuk pribumi
selama menjadi agen polisi diciptakan jabatan seperti mantri polisi, asisten
wedana, dan wedana polisi. Demikian pula dalam praktek peradilan pidana
terdapat perbedaan kandgerecht
dan raad van justitie.
Zaman Pendudukan Jepang Pada masa pendudukan
Jepang 1942-1945, pemerintahan kepolisan Jepang membagi Indonesia dalam dua
lingkungan kekuasaan, yaitu:
1. Sumatera, Jawa, dan Madura dikuasai oleh Angkatan Darat Jepang.
2. Indonesia bagian timur
dan Kalimantan dikuasai Angkatan Laut Jepang.
Dalam masa ini banyak anggota
kepolisian bangsa Indonesia
menggantikan kedudukan dan kepangkatan bagi bangsa Belanda sebelumnya. Pusat
kepolisian di Jakarta
dinamakan keisatsu bu
dan kepalanya disebut keisatsu elucho.
Kepolisian untuk Jawa dan Madura juga berkedudukan di Jakarta,
untuk Sumatera berkedudukan di Bukittinggi, Indonesia bagian timur berkedudukan di Makassar,
dan Kalimantan berkedudukan di Banjarmasin.
Tiap-tiap kantor polisi di
daerah meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian bangsa Indonesia,
tapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang yang disebut sidookaan yang dalam praktek lebih
berkuasa dari kepala polisi.
Beda dengan zaman Hindia
Belanda yang menganut HIR, pada akhir masa pendudukan Jepang yang berwenang
menyidik hanya polisi dan polisi juga memimpin organisasi yang disebut keibodan (semacam hansip).
Zaman Revolusi Fisik
Tidak lama setelah Jepang
menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, pemerintah militer Jepang membubarkan Peta
dan Gyu-Gun, sedangkan polisi tetap bertugas, termasuk waktu Soekarno-Hatta
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Secara
resmi kepolisian menjadi kepolisian Indonesia yang merdeka.
Inspektur Kelas I (Letnan
Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya, pada tanggal 21
Agustus 1945 memproklamasikan kedudukan polisi sebagai Polisi Republik
Indonesia menyusul dibentuknya Badan Kepolisian Negara (BKN) oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945. Pada 29
September 1945 PresidenRI melantik Kepala Kepolisian RI
(Kapolri) pertama Jenderal Polisi R.S. Soekanto. Adapun ikrar Polisi Istimewa
tersebut berbunyi:
“Oentoek
bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17
Agoestoes 1945, dengan ini menyatakan Poelisi Istimewa sebagai Poelisi
Repoeblik Indonesia.”
Kepolisian Pasca Proklamasi
Setelah proklamasi, tentunya tidak mungkin mengganti peraturan
perundang-undangan, karena masih diberlakukan peraturan perundang-undangan
Hindia Belanda, termasuk mengenai kepolisian, seperti tercantum dalam peraturan
peralihan UUD 1945.
Tanggal 1 Juli 1946 dengan
Ketetapan Pemerintah No. 11/SD/1946 dibentuk Djawatan Kepolisian Negara yang
bertanggung jawab langsung kepada perdana menteri. Semua fungsi kepolisian
disatukan dalam Jawatan Kepolisian Negara yang memimpin kepolisian di seluruh
tanah air. Dengan demikian lahirlah Kepolisian Nasional Indonesia yang sampai
hari ini diperingati sebagai Hari Bhayangkara.
Hal yang menarik, saat
pembentukan Kepolisian Negara tahun 1946 adalah jumlah anggota Polri sudah
mencapai 31.620 personel, sedang jumlah penduduk saat itu belum mencapai 60
juta jiwa. Dengan demikian “police population ratio” waktu itu sudah 1:500.
(Pada 2001, dengan jumlah penduduk 210 juta jiwa, jumlah polisi hanya 170 ribu
personel, atau 1:1.300)
Sebagai bangsa dan negara
yang berjuang mempertahankan kemerdekaan maka Polri di samping bertugas sebagai
penegak hukum juga ikut bertempur di seluruh wilayah RI. Polri menyatakan
dirinya “combatant” yang tidak tunduk pada Konvensi Jenewa. Polisi Istimewa
diganti menjadi Mobile Brigade, sebagai kesatuan khusus untuk perjuangan
bersenjata, seperti dikenal dalam pertempuran 10 November di Surabaya, di front
Sumatera Utara, Sumatera Barat, penumpasan pemberontakan PKI di Madiun, dan
lain-lain.
Pada masa kabinet
presidential, pada tanggal 4 Februari 1948 dikeluarkan Tap Pemerintah No.
1/1948 yang menetapkan bahwa Polri dipimpin langsung oleh presiden/wakil
presiden dalam kedudukan sebagai perdana menteri/wakil perdana menteri.
Pada masa revolusi fisik,
Kapolri Jenderal Polisi R.S. Soekanto telah mulai menata organisasi kepolisian
di seluruh wilayah RI. Pada Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang diketuai Mr.
Sjafrudin Prawiranegara berkedudukan di Sumatera Tengah, Jawatan Kepolisian
dipimpin KBP Umar Said (tanggal 22 Desember 148).
Zaman RIS Hasil
Konferensi Meja Bundar antara Indonesia
dan Belanda dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), maka R.S. Sukanto
diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara RIS dan R. Sumanto diangkat
sebagai Kepala Kepolisian NegaraRI berkedudukan di Yogyakarta.
Dengan Keppres RIS No. 22
tahun 1950 dinyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam kebijaksanaan politik
polisional berada di bawah perdana menteri dengan perantaraan jaksa agung,
sedangkan dalam hal administrasi pembinaan, dipertanggungjawabkan pada menteri
dalam negeri.
Umur RIS hanya beberapa
bulan. Sebelum dibentuk Negara Kesatuan RI pada tanggal 17 Agustus 1950, pada
tanggal 7 Juni 1950 dengan Tap Presiden RIS No. 150, organisasi-organisasi
kepolisian negara-negara bagian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Indonesia.
Dalam peleburan tersebut disadari adanya kepolisian negara yang dipimpin secara
sentral, baik di bidang kebijaksanaan siasat kepolisian maupun administratif,
organisatoris.
Zaman Demokrasi
Parlementer
Dengan dibentuknya negara
kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan diberlakukannya UUDS 1950 yang menganut
sistem parlementer, Kepala Kepolisian Negara tetap dijabat R.S. Soekanto yang
bertanggung jawab kepada perdana menteri/presiden.
Waktu kedudukan Polri
kembali ke Jakarta,
karena belum ada kantor digunakan bekas kantor Hoofd van de Dienst der Algemene
Politie di Gedung Departemen Dalam Negeri. Kemudian R.S. Soekanto merencanakan
kantor sendiri di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dengan
sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI (DKN) yang menjadi Markas
Besar Kepolisian sampai sekarang. Ketika itu menjadi gedung perkantoran termegah
setelah Istana Negara.
Sampai periode ini kepolisian
berstatus tersendiri antara sipil dan militer yang memiliki organisasi dan
peraturan gaji tersendiri. Anggota Polri terorganisir dalam Persatuan Pegawai
Polisi Republik Indonesia (P3RI) tidak ikut dalam Korpri, sedangkan bagi istri
polisi semenjak zaman revolusi sudah membentuk organisasi yang sampai sekarang
dikenal dengan nama Bhayangkari tidak ikut dalam Dharma Wanita ataupun Dharma
Pertiwi. Organisasi P3RI dan Bhayangkari ini memiliki ketua dan pengurus secara
demokratis dan pernah ikut Pemilu 1955 yang memenangkan kursi di Konstituante
dan Parlemen. Waktu itu semua gaji pegawai negeri berada di bawah gaji angkatan
perang, namun P3RI memperjuangkan perbaikan gaji dan berhasil melahirkan
Peraturan Gaji Polisi (PGPOL) di mana gaji Polri relatif lebih baik dibanding
dengan gaji pegawai negeri lainnya (mengacu standar PBB).
Dalam periode demokrasi
parlementer ini perdana menteri dan kabinet berganti rata-rata kurang satu
tahun. Polri yang otonom di bawah perdana menteri membenahi organisasi dan
administrasi serta membangun laboratorium forensik, membangun Polisi Perairan
(memiliki kapal polisi berukuran 500 ton) dan juga membangun Polisi Udara serta
mengirim ratusan perwira Polri belajar ke luar negeri, terutama ke Amerika
Serikat.
Zaman
Demokrasi Terpimpin
Dengan Dekrit Presiden 5
Juli 1959, setelah kegagalan Konstituante, Indonesia kembali ke UUD 1945, namun
dalam pelaksanaannya kemudian banyak menyimpang dari UUD 1945. Jabatan Perdana
Menteri (Alm. Ir. Juanda) diganti dengan sebutan Menteri Pertama, Polri masih
tetap di bawah pada Menteri Pertama sampai keluarnya Keppres No. 153/1959,
tertanggal 10 Juli di mana Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan Menteri
Negara ex-officio.
Pada tanggal 13 Juli 1959
dengan Keppres No. 154/1959 Kapolri juga menjabat sebagai Menteri Muda
Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada tanggal 26 Agustus 1959 dengan Surat
Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian
Negara diubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen
Kepolisian (sebagai ganti dari Djawatan Kepolisian Negara).
Waktu Presiden Soekarno
menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan Perang dan Angkatan
Kepolisian, R.S. Soekanto menyampaikan keberatannya dengan alasan untuk menjaga
profesionalisme kepolisian. Pada tanggal 15 Desember 1959 R.S. Soekanto
mengundurkan diri setelah menjabat Kapolri/Menteri Muda Kepolisian, sehingga
berakhirlah karir Bapak Kepolisian RI tersebut sejak 29 September 1945 hingga
15 Desember 1959.
Dengan Tap MPRS No. II dan
III tahun 1960 dinyatakan bahwa ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi
Negara. Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri Muda Kepolisian
ditiadakan dan selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara bersama Angkatan
Perang lainnya dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional.
Tanggal 19 Juni 1961, DPR-GR
mengesahkan UU Pokok kepolisian No. 13/1961. Dalam UU ini dinyatakan bahwa
kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan TNI
AD, AL, dan
AU.
Dengan Keppres No. 94/1962,
Menteri Kapolri, Menteri/KASAD, Menteri/KASAL, Menteri/KSAU, Menteri/Jaksa
Agung, Menteri Urusan Veteran dikoordinasikan oleh Wakil Menteri Pertama bidang
pertahanan keamanan. Dengan Keppres No. 134/1962 menteri diganti menjadi
Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak).
Kemudian Sebutan Menkasak
diganti lagi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) dan
langsung bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala pemerintahan negara.
Dengan Keppres No. 290/1964 kedudukan, tugas, dan tanggung jawab Polri
ditentukan sebagai berikut:
a. Alat Negara Penegak
Hukum.
b. Koordinator Polsus.
c. Ikut serta dalam pertahanan.
d. Pembinaan Kamtibmas.
e. Kekaryaan.
f. Sebagai alat revolusi.
Berdasarkan Keppres No. 155/1965 tanggal 6
Juli 1965, pendidikan AKABRI disamakan bagi Angkatan Perang dan Polri selama satu
tahun di Magelang. Sementara di tahun 1964 dan 1965, pengaruh PKI bertambah
besar karena politik NASAKOM Presiden Soekarno, dan PKI mulai menyusupi
mempengaruhi sebagian anggota ABRI dari keempat angkatan.
Zaman Orde Baru Karena pengalaman yang pahit dari
peristiwa G30S/PKI yang mencerminkan tidak adanya integrasi antar unsur-unsur
ABRI, maka untuk meningkatkan integrasi ABRI, tahun 1967 dengan SK Presiden No.
132/1967 tanggal 24 Agustus 1967 ditetapkan Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur
Bindang Pertahanan dan Keamanan yang menyatakan ABRI merupakan bagian dari
organisasi Departemen Hankam meliputi AD, AL, AU , dan AK yang masing-masing
dipimpin oleh Panglima Angkatan dan bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas
dan kewajibannya kepada Menhankam/Pangab. Jenderal Soeharto sebagai Menhankam/Pangab
yang pertama.
Setelah Soeharto dipilih
sebagai presiden pada tahun 1968, jabatan Menhankam/Pangab berpindah kepada
Jenderal M. Panggabean. Kemudian ternyata betapa ketatnya integrasi ini yang
dampaknya sangat menyulitkan perkembangan Polri yang secara universal memang
bukan angkatan perang.
Pada tahun 1969 dengan
Keppres No. 52/1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian diganti kembali sesuai
UU No. 13/1961 menjadi Kepala Kepolisian Negara RI, namun singkatannya tidak
lagi KKN tetapi Kapolri. Pergantian sebutan ini diresmikan pada tanggal 1 Juli
1969.
Pada HUT ABRI tanggal 5
Oktober 1969 sebutan Panglima AD, AL,
dan AU diganti menjadi Kepala Staf Angkatan. Pada kesempatan tersebut anggota AL danAU memakai tanda
TNI di kerah leher, sedangkan Polri memakai tanda Pol. Maksudnya untuk
menegaskan perbedaan antara Angkatan Perang dan Polisi.
Zaman
Reformasi Adanya Ketetapan MPR No.
X/MPR/1998 tentang Reformasi telah melahirkan Inpres No. 2/1999 tanggal 1 April
1999 dalam era Presiden BJ Habibie yang memisahkan Polri dan TNI karena
dirasakan memang terdapat perbedaan fungsi dan cara kerja dihadapkan dengan civil
society. Untuk sementara, waktu itu, Polri masih diletakkan di bawah
Menteri Pertahanan Keamanan. Akan tetapi, karena pada waktu itu Menteri dan
Panglima TNI dijabat orang yang sama (Jenderal TNI Wiranto), maka praktis pemisahan
tidak berjalan efektif.
Sementara peluang yang lain
adalah Ketetapan MPR No. VI/2000 tanggal 18 Agustus 2000 yang menetapkan secara
nyata adanya pemisahan Polri dan TNI, yang selanjutnya diikuti pula oleh
Ketetapan MPR No. VII/2000 yang mengatur peran TNI dan Polri secara tegas.
Sementara itu, sebelum
ketetapan-ketetapan tersebut di atas digulirkan, pada HUT Bhayangkara 1 Juli
2000 dikeluarkan Keppres No. 89/2000 yang melepaskan Polri dari Dephan dan
menetapkan langsung Polri di bawah presiden.
Kendati Keppres ini sering
disoroti sebagai bahaya karena Kepolisian akan digunakan sewenang-wenang oleh
presiden, naun sesungguhnya ia masih bisa dikontrol oleh DPR dan LKN (Lembaga
Kepolisian Nasinal) yang merupakan lembaga independen.
Adapun tantangan yang
dihadapi Polri dewasa ini dan ke depan, terutama adalah perubahan paradigma
pemolisian yang sesuai dengan paradigma baru penegakan hukum yang lebih
persuasif di negara demokratis, di mana hukum dan polisi tidaklah tampil dengan
mengumbar ancaman-ancaman hukum yang represif dan kadang kala menjebak rakyat,
melainkan tampil lebih simpatik, ramah, dan familier.
Memberi peluang tumbuhnya
dinamika masyarakat dalam menyelesaikan konfliknya sampai pada taraf tertentu.
Memberi peluang berfungsi dan kuatnya pranata-pranata sosial dalam masyarakat
seperti adanya perasaan malu, perasaan bersalah, dan perasaan takut bila ia
melakukan penyimpangan, sehingga mendorong warga patuh pada hukum secara
alamiah.
Tahun 1945
Kepolisian Negara berada dibawah departeman Dalam Negeri, berdasarkan sidang
PPKI tanggal 19 Agustus 1945.
Tahun 1946
Kepolisian Negara berada dibawah Perdana Menteri, berdasarkan Ketetapan
Pemerintah Nomor : 11/SD/tanggal 01 Juli 1946.
Tahun 1947
Kepolisian Negara di Militerisasi, berdasarkan Keputusan Dewan Pertahanan
Negara nomor : 112 Tahun 1947.
Tahun 1950
Pimpinan Kepolisian Negara diserahkan kepada Menteri Pertahanan, berdasarkan
Ketetapan Perdana Menteri Nomor : 03/PM/1950. Kemudian dicabut kembali
padabulan September 1950.
Tahun 1954
dibentuk Panitia Negara Perancang UU Kepolisian Negara, berdasarkan KepPres
Nomor : 297/1954. Kepolisian Negara ditunjuk untuk mewakili Pemerintah Indonesia
dalam InterPol berdasarkan keputusan Perdana Menteri Nomor : 245/PM/1954.
Tahun 1959
Kepolisian Negara menjadi Jawatan tersendiri dibawah Kementerian Kepolisian
berdasarkan KepPres Nomor : 154 Tahun 1959.
Tahun 1960
Kepolisian negara menjadi bagian dari ABRI, berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor :
II/1960, disahkan dalam UU Pokok Kepolisian Negara Nomor : 13 Tahun 1961,
Lembar Negara Nomor : 245, tambahan Lembar Negara Nomor : 289 Tahun 1961.
Tahun 1962
Kepolisian Negara diberi wewenang untuk mengadakan Koordinasi dengan Departemen/Jawatan
yang memiliki wewenang Polsus, berdasar KepPres nomor : 372 Tahun 1962.
Tahun 1964
AKRI (Angkatan Kepolisian Republik Indonesia) sebagai bagian dari
ABRI, berdasarkan KepPres Nomor : 290 Tahun 1964.
Tahun 1966
AKRI sebagai bagian dari ABRI dengan Matra Kamtibmas, berdasarkan Ketetapan
MPRS Nomor : XXIV/1966.
Tahun 1969
Sebutan AKRI diubah menjadi POLRI, berdasarkan KepPres Nomor : 052 Tahun 1969.
Tahun 1970
Reorganisasi POLRI, berdasarkan Surat
Keputusan MenHanKam/PangAB Nomor : A/385/VIII/1970.
Tahun 2000
POLRI dipisahkan dari ABRI, berdasarkan Ketetapan MPR Nomor : VI/2000. Tanggal
18 Agustus 2000.